Apa itu berhala? Sesuai KBBI, berhala yaitu patung dewa atau sesuatu yang didewakan untuk disembah dan dipuja. Nah, buku ini langsung menarik minat saya karena judulnya yang berani untuk membahas “berhala” yang ada dalam kehidupan masyarakat Islam kontemporer. Seperti yang terlihat pada sampul, buku Berhala-Berhala Wacana ini ditulis oleh Edi AH Iyubenu alias Edi Akhiles alias Edi Mulyono. Beliau adalah kandidat doktor Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pembahasan dan studi yang sangat menarik dari buku ini antara lain mengenai bagaimana metode penafsiran yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu, pendapat penulis mengenai trend zaman now yang sedikit-sedikit mengembel-embelkan “syar’i” dalam bisnis jual-beli, pembahasan mengenai Pancasila yang sebenarnya sudah sangat Islami karena sudah mengandung unsur-unsur Islam yang dibutuhkan dalam membentuk suatu negara, pembahasan tentang stigma pernikahan yang terlalu diburukan, sedikit tentang poligami, substansi dari seorang Haji yang Mabrur, kajian hukum mengatakan “Selamat Natal”, dan banyak lainnya.
Semua pembahasan yang saya tuliskan pada paragraf sebelumnya bisa dijelaskan oleh penulis dengan bahasa yang sederhana namun mengena. Salah satu contohnya, penulis mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an, kegiatan berdagang/berbisnis harus dijalankan di atas satu prinsip dasar yaitu ‘an taradhin (saling ridha, ikhlas, tulus, jujur). Jadi tidak perlu seorang penjual mengatakan barang jualannya syar’i, pasti halal, ikut travel tertentu pasti mendapatkan haji yang mabrur, dan lain sebagainya. Saya setuju dengan pendapat ini. Khatib Jumat minggu lalu mengatakan, Allah hanya akan melihat apa yang tersembunyi dalam hati, serta apa yang kita perbuat. Bukan apa yang kita katakan atau apa yang terlihat di luarnya. Jika memang kita sudah berniat dan yakin bahwa bisnis kita halal, untuk apa memberi embel-embel seperti itu? Jika jauh dalam hati penjual terkandung niat ingin mendapatkan penjualan yang meningkat dengan beriklan seperti itu, menurut saya sama saja ia menjual agama untuk mendapat keuntungan pribadi. Kasusnya sudah banyak di berita toh?
Saya juga memiliki beberapa saran dan ktitik untuk buku ini. Pertama, empat bab pertama terlalu berat dan memakai bahasa yang terlalu tinggi. Suatu buku yang baik akan menggunakan bab-bab awal sebagai penarik pembaca. Jika dari awal sudah njelimet, pembaca bisa kehilangan minatnya untuk menghabiskan buku. Kedua, lima bab terakhir malah super duper njelimet dan tidak sesuai dengan judul buku ini. Dalam pandangan saya, penulis hanya ingin menuangkan studi atau makalahnya tentang komparasi metode interpretasi dan malah cenderung ke arah filsafat. Judul buku ini sederhana, pembahasan bab-bab yang saya sebutkan di paragraf kedua juga sangat menarik. Seharusnya penulis bisa mencari materi lain yang juga sederhana namun sarat makna untuk bab-bab terakhir. Ketiga, ada beberapa kutipan yang diambil dari tokoh-tokoh kontroversial dalam buku ini, sebut saja Ibnu Taimiyah, Sayyid Qutb, dan Asghar Ali Engineer. Walaupun memang kutipan yang dimasukkan saya anggap kutipan yang memang baik, namun penulis seharusnya lebih berhati-hati. Kecuali jika memang penulis ingin menunjukkan bahwa dari ketidaksempurnaan seseorang, selalu ada pelajaran baik yang bisa kita ambil.
Secara keseluruhan, buku ini bagus untuk dibaca oleh orang-orang yang ingin lebih membuka pikiran mengenai kondisi masyarakat Islam Indonesia saat ini dan lebih mementingkan isi daripada sampul. Mengutip kata-kata penulis, “jika saya diminta memilih, maka saya akan memilih hal yang substantif daripada formal, kendati saya jelas lebih demen hal yang substantif itu diikuti oleh hal yang formal.”
“Kosong adalah isi, isi adalah kosong”